Adat Istiadat di Maluku

Maluku adalah provinsi kepulauan terbesar di Indonesia yang berdiri di timur NKRI. Maluku sudah dikenal sejak masa penjajahan dengan rempah-rempah khas yaitu pala dan cengkih juga tanaman yang menjadi makanan pokok masyarkat Maluku sagu. Maluku kaya akan kekayaan alam yang melimpah menjadikan Maluku memiliki aset alam yang luar biasa mulai dari laut hingga daratan. Selain itu, budaya serta adat istiadat tradisinya juga menjadi daya tarik sendiri bagi Maluku.

Berikut ini adalah adat istiadat di Maluku :

 

  1. Upacara Adat Cuci Negeri

 

Negeri adalah sebutan untuk desa-desa di Maluku. Orang Maluku lebih kenal negeri daripada desa. Negeri-negeri ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut Bapa Raja. Tradisi cuci negeri sendiri adalah tradisi rutin yang dilakukan masyarakat pedesaan untuk membersihkan lokasi-lokasi yang diyakini menjadi tempat mistis pada leluhur atau nenek moyang.

Cuci negeri dilaksanakan setiap akhir tahun sekitar tanggal 27-29 Desember tiap tahunnya. Masyarakat satu desa akan berkumpul didepan Baileo sebelum melaksanakan kegiatan dengan membawa peralatan adat yang diperlukan, setelah itu masyarakat akan berbondong-bondong bergerak menuju tempat-tempat seperti sumur dan tempat bertapah nenek moyang dan membersihkan lokasi itu. Setelah itu pada sore harinya, masyarakat akan kembali ke depan Baileo untuk makan bersama da menyaksikan penampilan seni dan budaya Maluku.

 

 

 

  1. Tradisi Pukul Sapu

 

Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu merupakan atraksi unik dari Maluku Tengah yang biasanya dipentaskan di Desa Mamala dan Desa Morella, Kecamatan LeihituMaluku Tengah. Berlangsung setiap 7 syawal (penanggalan Islam) dimana telah berlangsung dari abad XVII yang diciptakan seorang tokoh agama Islam dari Maluku bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibagun pada 7 syawal setelah Idul Fitri.

Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah masyarakat setempat yaitu perjuangan Kapiten Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di tanah Maluku. Pasukan Tulukabessy bertempur untuk mempertahankan Benteng Kapapaha dari serbuan penjajah meskipun perjuangan mereka gagal dan Benteng Kapapaha tetap jatuh juga. Untuk menandai kekalahan tersebut, pasukan Tulukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk hingga berdarah.

Tradisi Pukul Manyapu dipandang sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di Desa Mamala dan Desa Morella. Dipertunjukan oleh pemuda yang dibagi dalam dua kelompok dimana setiap kelompoknya berjumlah 20 orang. Kedua kelompok dengan seragam berbeda itu akan bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna kuning/putih. Pesertanya juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah sapu lidi dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari dada hingga perut.

 

 

  1. Arumbae Manggurebe

 

Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan. Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar – dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan. Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran. Kedatangan para leluhur dari pulau Seram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara. Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar negeri. Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang.

Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. [1Itulah sebabnya, masyarakat Maluku melihat laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku. Kebiasaan papalele, babalu, maano, dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae sebagai simbol perjuangan ekonomi.

Arumabe tampak dalam beragam karya seni. Misalnya dalam syair kata tujuh ya nona, ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao Banyak gapura negeri adat Maluku berbentuk Arumbae. Lagu daerah banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol perahu atau Arumbae. Di bidang olahraga, Arumbae Manggurebe menjadi program pariwisata dan olah raga tahunan yang diselenggarakan di Teluk Ambon.

 

 

  1. Obor Pattimura

 

Setiap tanggal 15 Mei, di Maluku pemerintah bersama rakyat setempat melakukan prosesi adat dan kebangsaan dalam memperingati hari Pattimura. Yang paling terkenal adalah lari obor dari Pulau Saparua menyebrangi lautan menuju Pulau Ambon, untuk selanjutnya diarak-arak sepanjang 25 kilometer menuju kota Ambon. Prosesi ini diawali dengan pembakaran api obor secara alam di puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua. Gunung Saniri adalah salah satu ritus sejarah perjuangan Pattimura karena di tempat itulah, awal dari perang rakyat Maluku melawan Belanda tahun 1817.

Dalam sejarahnya, di Gunung Saniri berkumpul para Latupati atau Raja-Raja dan tokoh masyarakat Pulau Saparua. Mereka melakukan Rapat Saniri (musyawarah raja-raja) untuk menyusun strategi penyerangan ke Benteng Durstede di Saparua yang dikuasai Belanda.Thomas Matulessy dari desa Haria lantas diangkat sebagai Kapitan atau  panglima perang dengan gelar Pattimura.

Penyerangan rakyat ke benteng Durstede melalui Pantai Waisisil tidak menyisahkan satupun serdadu Belanda termasuk Residen Belanda Van de Berk dan keluarganya. Semuanya tewas terbunuh dan yang hidup hanyalah putra Van de Berk yang berusia lima tahun. Dia diselamatkan oleh Pattimura. Belakangan, putra Van de Berk ini diserahkan kembali kepada pemerintahan Belanda di Ambon.

 

Dari penyerangan inilah api perjuangan terus dikobarkan. Kemenangan Pattimura yang berhasil menjatuhkan Benteng Durstede menjadi inspirasi kepada rakyat lainnya untuk angkat senjata melawan Belanda. Peperangan pun terjadi hampir di seluruh daerah di Maluku. Dalam perjalanannya, Pattimura dan rekan-rekannya berhasil ditangkap oleh Belanda lewat siasat liciknya. Mereka diputuskan oleh Pengadilan di Ambon dengan hukuman mati.

 

Sumber Pustaka :

http://hidayatkiat.student.umm.ac.id/2016/06/17/budaya-ciri-khas-dan-makanan-khas-ambon-maluku/

https://sopigpsite.wordpress.com/2016/10/22/kebudayaan-maluku/

https://id.wikipedia.org/wiki/Pukul_Manyapu

 

Tinggalkan komentar